Mari kita cek dulu tabel perbandingan anatomi dan sistem cerna antara; manusia, serigala, serta kambing/domba:
Manusia lebih mirip serigala yg karnivora (malah manusia purba lebih karnivora dari serigala berdasarkan tes analisis isotope stabil baca disini: https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10154420216314770&id=548909769)
Dan lihat poin feeding habits, frekuensinya intermittent bukan continously makan melulu seperti hewan herbivora yang tidak berhenti mengunyah.
Lemak, Otak, dan Pola Makan
Perkembangan otak manusia membutuhkan asam lemak rantai panjang (asam lemak 20~22 karbon: AA, DTA, EPA, DHA)
Rantai terbanyak lemak nabati (omega 6: asam linoleat dan asam alfa-linoleat: omega 3) pada tanaman, asam lemaknya hanya 18 karbon yang terpanjang.
Manusia dan mahluk karnivora lainnya kesulitan mencerna asam lemak dari sumber tumbuh-tumbuhan.
MAKAN LEMAK!
Lebih mudah untuk mengkonsumsi lemak binatang karena panjang rantainya mencapai 20 dan 22 karbon.
Perkembangan otak manusia dari jaman primitif tidak akan pernah terjadi tanpa memakan hewani.
Bahkan sekarang ini otak manusia mulai mengecil karena kurang makan daging, khususnya orang yang vegan; menyusut lebih dari 5% dalam 5 tahun!
Jadi kita sebaiknya memakan lemak, bahkan hewan2 herbivora seperti sapi pun mengkonsumsi lemak!
Kok bisa, bukannya sapi makan rumput?
Sapi dan hewan memamahbiak lain, berbahan bakar lemak dari hasil fermentasi rumput yg dikunyah2 & ditelan, lalu dikonversi oleh bakteri di perut mereka jadi lemak jenuh.
Jadi sama kayak singa..
Singa dan hewan karnivora lain tidak punya bakteri yang bisa memfermentasi serat/selulosa, mengubahnya jadi lemak jenuh, makanya mereka langsung aja memakan binatang mangsanya untuk mendapatkan lemak.
Jadi rasio makro pola makan sapi dan singa sama:
*lemak 70~80%
*protein 20~30%
*karbo/gula 0!
Pola makan sapi dan singa serupa ternyata, tinggi lemak!
Pertanyaannya: Manusia sebaiknya pola makannya gimana, mengingat manusia tidak punya bakteri fermentasi yg bisa mengkonversi serat/selulosa jadi lemak jenuh?
Ternyata manusia pun sebaiknya makan lemak dan rendah karbohidrat, sebaiknya konsumsi makanan dari sumber hewani seperti daging.
Katanya manusia serupa dengan gorila, gorila itu sebenarnya primata sama kayak manusia yang awalnya adalah insectivora tapi bisa jadi omnivora.
Gorila menjadi cenderung banyak makan dari sumber nabati, tapi ternyata gorila juga punya mikroba yang bisa mengubah serat/selulosa jadi lemak jenuh juga!
Jadi, gorila pun pola makannya sebenarnya tinggi lemak dan rendah karbohidrat, karena banyak karbohidrat yang dikunyah2 seharian dan ditelan itu akhirnya difermentasi oleh bakteri untuk diolah jadi lemak makanannya gorila.
Makanya manusia secara alami juga memakan lemak, dan karena tidak punya mikroba atau bakteri pengubah serat/selulosa jadi lemak, harus mengkonsumsi lemak langsung dengan memakan makanan dari sumber hewani.
Bisa dilihat dari jaman purba sebagai pemburu dan beberapa suku tradisional di dunia (Inuit, Masai, dll)
Sumber: Dr Barry Groves
Penjelasan ilmiah: http://arbl.cvmbs.colostate.edu/hbooks/pathphys/digestion/herbivores/rum_absorb.html
Baca; pantangdiet.com
Beda Manusia dan Gorila.
Sebelumnya saya terangin sedikit tentang Kleiber Law di ilmu fisiologi.
Max Kleiber adalah ahli fisiologi dan mengungkapkan hukum Kleiber yaitu garis ekuilibrium antara metabolik rate dan massa tubuh.
Dengan garis ini kita bisa mengukur tingkat metabolisme berdasarkan massa tubuh, binatang apapun termasuk manusia, gorila, macan, kuda masuk ke garis Kleiber ini.
Secara metabolisme manusia dan gorila hampir serupa tapi jika dibagi2 ke metabolisme per bagian organ udah beda pembagiannya.
Bedanya manusia dengan gorila, manusia itu jauh lebih pintar dan berakal, otaknya lebih besar.
Nah, karena otaknya yang besar membutuhkan metabolisme tinggi supaya tetap imbang ada organ yang metabolismenya dikurangi yaitu usus.
Gorila mengambil kebutuhan kalori untuk metabolismenya banyak dari nabati, untuk memenuhi 3000 kalori saja, sehari harus makan berkilo-kilo nabati, dimakan seharian bahkan gorila tidur pun bawa makanan supaya pas bangun tidur udah harus langsung makan alias ngunyah terus dari pagi sampai malam.
Sementara manusia yang pemakan daging, ngga perlu usus sebesar dan sepanjang gorila, makan daging sepotong udah banyak banget kalori dan gizinya jadi bisa kuat berpuasa dan melakukan aktivitas lain tanpa harus mengunyah seharian.
Coba lihat aja foto perut orang Inuit yang karnivora dibandingkan dengan perut gorila yang besar banget.
Kesimpulannya, simpanse dan gorila beda dengan manusia, mereka ususnya besar otaknya kecil kerjanya ngga banyak mikir tapi harus banyak makan sampai berkilo-kilo nabati untuk menjalani metabolismenya.
Manusia otaknya jauh lebih besar membutuhkan energi tinggi, makannya daging yang padat nutrisi karena ususnya udah mengecil dan tak akan sanggup memenuhi kebutuhan kalori untuk metabolisme kalau hanya dari nabati saja.
Kita bukan gorila, kita manusia yang kodrat alaminya pemakan daging.
Ngomongin gorila,
Gorila memang pola makannya sangat rendah lemak, banyak serat.
Tapi di kolon atau ususnya yang sangat besar itu terdapat bakteri yang bisa memfermentasikan serat2 itu dan mengubahnya menjadi lemak.
Kebutuhan energi gorila hampir seluruhnya berasal dari lemak hasil cerna serat oleh bakterinya.
Semua mamalia tidak ada yang bisa mencerna serat.
Semuanya mencerna lemak.
Serat dicerna oleh bakteri di dalam perut beberapa jenis mamalia menjadi lemak jenuh yang disebut short chain fatty acid atau volatile fatty acids.
Sehingga semua serat yang dimakan akan diubah menjadi lemak oleh bakterinya.
Bahkan serangga pemakan kayu pun menjadikan lemak jenuh ini sebagai sumber energi.
Walaupun 90% mamalia itu herbivore, tapi semuanya mengambil kebutuhan energi juga dari lemak.
Jadi semua mamalia seperti sapi, termasuk primata, gorila, dan manusia itu bahan bakarnya lemak.
Gorila dan sapi walau banyak mengkonsumsi serat, mereka memiliki bakteri yang bisa mengubah semua serat itu menjadi lemak.
Manusia tidak punya bakteri yang bisa mencerna serat, kolon atau usus besarnya juga lebih kecil tidak bisa menampung banyak serat yang tidak bisa dicerna.
Bahkan jika kelebihan makan karbohidrat/gula akan dijadikan cadangan tenaga berupa lemak jenuh.
Sebaiknya manusia langsung aja makan lemak.
Ayo makan lemak!
http://www.buttermakesyourpantsfalloff.com/lets-do-it-lets-live-on-fat/
Sumber jurnal ilmiah:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/2181501
Klik untuk mengakses aem00174-0192.pdf
Klik untuk mengakses 393.full.pdf
Klik untuk mengakses 2000.full.pdf
Manusia berbeda dengan kera, atau primata omnivora lainnya walau secara anatomi ada kemiripan.
Manusia sudah hidup selama jutaan tahun menjadi karnivora dengan makan daging dari berburu tanpa perlu tergantung pada sumber makanan nabati.
Yang jelas manusia purba yang populasinya banyak berasal dari benua Afrika dan Eropa tidak makan gandum, apel merah, pisang, atau buah-buahan tropis lainnya yang melimpah di jaman sekarang.
Mungkin bisa saja manusia mendapatkan makanan dari sumber nabati, namun harus berhati-dengan racun dan kalah saing dengan burung serta binatang liar lainnya.
Bagaimana bisa membuktikan manusia itu karnivora?
Adalah Michael Richards, seorang professor dari Universitas Bradford yang kini ada di Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology in Leipzig, Jerman, mampu mengetahui apa yang dimakan manusia purba dengan metode isotop stabil.
Seperti yang diketahui semua, atom terdiri dari elektron, neutron, dan proton.
Sebuah elemen bisa diklasifikasikan dari jumlah protonnya.
Sebuah elemen bisa saja memiliki jumlah proton yang sama namun memilik jumlah neutron yang berbeda-beda.
Misalnya karbon memiliki 6 proton tapi bisa memiliki 6, 7, atau 8 neutron.
Ketiga versi yang berbeda dari karbon ini disebut isotop.
Dan massa atomnya dikatakan dari jumlah proton serta neutron yang dikandungnya jadi ada: 12C, 13C and 14C.
14C adalah isotop tidak stabil bersifat radioaktif dan meluruh seiring waktu dan dengan ini bisa dihitung usia materi organik yang membuat Willard Libby memenangkan Nobel di bidang Kimia di tahun 1960.
Ada juga isotop stabil seperti 12C and 13C and 14N and 15N (nitrogen 14 and 15).
Dari keempat isotop stabil ini kita bisa menganalisis diet manusia dari jaman dahulu.
Para peneliti mengukur sampel dengan spektometer untuk menentukan rasio
13C/12C yang disebut δ13C dan diukur dalam seperseribu. (‰)
Di dalam berat sebuah tulang terdapat kolagen sebanyak 25 persen, yang digunakan sebagai bahan analisis isotop stabil.
Hampir semua karbon dan nitrogen di kolagen berasal dari protein, dan sejak kebanyakan protein dalam tubuh manusia berasal dari protein yang dimakan, isotop karbon dan nitrogen di dalam kolagen mencerminkan sumber protein dari diet atau makanan.
Isotop stabil dari karbon dan nitrogen ini ada beragam di banyak jenis makanan, maka dari proporsinya kita bisa menganalisa jenis makanan ini dari analisis isotop stabil di kolagen.
Riset ini memakan waktu beberapa puluh tahun dengan proses pengumpulan data yang lama dan hati-hati serta memberikan hasil yang bisa dipertanggungjawabkan.
Angka dari δ13C and δ15N mengungkapkan pola makan manusia dari jaman dahulu kala.
Isotop 13C isotope banyak ditemukan dari sumber makanan di lautan, jadi δ13C yang besar mengindikasikan diet yang sumber proteinnya banyak dari laut dan begitu juga sebaliknya.
Angka pada δ15N menunjukkan posisi di rantai makanan karena isotop N stabil dari tumbuhan akan terkonsentrasi pada hewan herbivora dalam jangkauan 5-8 persen di kolagennya.
Jadi jika sebuah kolagen dari tulang mengandung δ15N lebih dari flora lokal, maka binatang itu bisa dikatakan herbivora dan masuk ke spektrum ini.
Jika angka δ15N lebih besar sekitar 7 persen lebih besar dari hewan herbivora, binatang atau makhluk itu termasuk manusia, bisa dikatakan karnivora.
Binatang atau makhluk yang memakan binatang herbivora dan karnivora lainnya akan memiliki tingkat δ15N yang lebih tinggi.
Jadi, δ15N menunjukkan posisi di rantai makanan dan δ13C darimana asal proteinnya apakah dari lautan atau daratan.
Data yang didapatkan dari analisis isotop stabil ini adalah:
Manusia-manusia purba adalah karnivora dan berada di puncak rantai makanan.
Kaum Neanderthal, yang hidup berdampingan dengan manusia purba di Eropa juga adalah pemakan daging.
Tingkat karnivora manusia dari jaman dahulu ini sangat tinggi, bahkan lebih tinggi dari serigala dan hewan karnivora lainnya.
Sumber makanan manusia purba ini kebanyakan binatang dari daratan dan diburu hingga punah.
Posisi manusia dari jaman dulu selalu ada di puncak rantai makanan, hanya saja seiring waktu, makin kesini makin banyak manusia mengambil makanan dari lautan tapi tetap karnivora dengan memakan ikan, kerang, dan fauna laut lainnya.
Walau dahulunya dikira omnivora seperti primata lainnya, manusia purba ternyata memiliki level karnivora yang sangat tinggi hingga di atas serigala.
Sampai sebelum jaman pertanian beberapa ribu tahun yang lalu, manusia adalah pemakan binatang dengan status super karnivora yang berada di puncak tertinggi rantai makanan selama jutaan tahun.
Review dari belasan studi menunjukkan:
Masyarakat pemburu kayak manusia purba yg pola makannya banyak daging sedikit nabati malah umumnya ngga ditemukan penyakit pembuluh darah kayak serangan jantung dan stroke.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11965522
Malah, manusia modern yg banyak konsumsi Low Fat tapi tinggi karbohidrat olahan kayak dari tepung yg diproses, roti, pasta, mie, serta gula yg dirafinasi kayak minuman manis malah banyak kena penyakit sindrom metabolisme seperti obesitas & diabetes, dan serangan jantung & stroke, serta sakit tumor & kanker.
Sumber: Dr Michael Eades,
Bacaan lanjutan:
Katzenburg MA (2008) Stable isotope analysis: a tool for studying past diet, demography, and life history. In Katzenburg MA, Saunders SR (eds) Biological Anthropology of the Human Skeleton. (Hoboken, Wiley-Liss) 2nd Edition pp 413-441
Schoeninger MJ, DeNiro M (1984) Nitrogen and carbon isotopic composition of bone collagen from marine and terrestrial animals. Geochim Cosmochim Acta 48:635-639.
Schoeninger MJ (1995) Stable isotope studies in human evolution. Evolutionary Anthropology 4(3): 83-98.
van der Merwe, NJ (1982) Carbon isotopes, photosynthesis, and archeology. American Scientist 70: 596-606.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.